Selasa, 07 Desember 2010

DOA UNTUK MAYIT, APAKAH BISA SAMPAI.??

Apakah do ’a, bacaan Al-
Qur’an, tahlil dan
shadaqoh itu pahalanya
akan sampai kepada
orang mati? Dalam hal ini
ada segolongan yang
yang berkata bahwa do ’a,
bacaan Al-Qur’an, tahlil
dan shadaqoh tidak
sampai pahalanya kepada
orang mati dengan alasan
dalilnya, sebagai berikut:
ْنَاَو َسْيَل
ِنسْنءِالْلِل َّالِا
ىَعَساَم
“ Dan tidaklah bagi
seseorang kecuali apa
yang telah dia kerjakan”.
(QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi
MUhammad SAW:
َتاَماَذِا ُنْبا
َمَدا َعَطَقْنِا
ُهُلَمَع َّالِا ْنِم
ٍثَالَث ٍةَقَدَص
ٍةَيِراَج ٍمْلِعْوَا
ُعَفَتْنُي ِهِب
ٍدَلَوْوَا ٍحِلاَص
ُهَلْوُعْدَي
“ Apakah anak Adam mati,
putuslah segala amal
perbuatannya kecuali tiga
perkara; shadaqoh jariyah,
ilmu yang dimanfa ’atkan,
dan anak yang sholeh
yang mendo ’akan dia.”
Mereka sepertinya, hanya
secara letterlezk (harfiyah)
memahami kedua dalil di
atas, tanpa
menghubungkan dengan
dalil-dalil lain. Sehingga
kesimpulan yang mereka
ambil, do ’a, bacaan Al-
Qur’an, shadaqoh dan
tahlil tidak berguna bagi
orang mati. Pemahaman
itu bertentangan dengan
banyak ayat dan hadits
Rasulullah SAW beberapa
di antaranya
َنْيِذَّلاَو
ْنِماْوُءاَج ِدْعَب
ْمِه َنْوُلْوُقَي
اَنَلْرِفْغااَنَّبَر
َنْيِذَّلااَنِنَوْخءِالَو
اَنْوُقَبَس
نميْءِالْاِب
“ Dan orang-orang yang
datang setelah mereka,
berkata: Yaa Tuhan kami,
ampunilah kami dan
ampunilah saudara-
saudara kami yang telah
mendahului kami dengan
beriman.” (QS Al-Hasyr
59: 10)
Dalam hal ini hubungan
orang mu ’min dengan
orang mu’min tidak putus
dari Dunia sampai
Akherat.
َكِبْنَذِلْرِفْغَتْساَو
َنْيِنِمْؤُمْلِلَو
ِتنِمْؤُملْاَو
“ Dan mintalah engkau
ampun (Muhammad)
untuk dosamu dan dosa-
dosa mu ’min laki dan
perempuan.” (QS
Muhammad 47: 19)
َلَأَس ٌلُجَر
َّىِبَّنلا َّلَص
ُهللا ِهْيَلَع
َمَّلَسَو َلاَقَف
َلْوُسَراَي ِهللا
َّنِا ىِمُا ْتَتاَم
اَهُعَفْنَيَفا ْنِا
َتْقَّدَصَت اَهْنَع ؟
َلاَق ْمَعَن
“ Bertanya seorang laki-laki
kepada Nabi SAW; Ya
Rasulullah sesungguhnya
ibu saya telah mati,
apakah berguna bagi
saya, seandainya saua
bersedekah untuknya?
Rasulullah menjawab; yaa
berguna untuk
ibumu. ” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula
dalil-dalil yang
memperkuat bahwa
orang mati masih
mendapat manfa ’at do’a
perbuatan orang lain. Ayat
ke 39 Surat An-Najm di
atas juga dapat diambil
maksud, bahwa secara
umum yang menjadi hak
seseorang adalah apa
yang ia kerjakan, sehingga
seseorang tidak
menyandarkan kepada
perbuatan orang, tetapi
tidak berarti
menghilangkan perbuatan
seseorang untuk orang
lain.
Di dalam Tafsir ath-
Thobari jilid 9 juz 27
dijelaskan bahwa ayat
tersebut diturunkan tatkala
Walid ibnu Mughirah
masuk Islam diejek oleh
orang musyrik, dan orang
musyrik tadi berkata;
“ Kalau engkau kembali
kepada agama kami dan
memberi uang kepada
kami, kami yang
menanggung siksaanmu
di akherat ”.
Maka Allah SWT
menurunkan ayat di atas
yang menunjukan bahwa
seseorang tidak bisa
menanggung dosa orang
lain, bagi seseorang apa
yang telah dikerjakan,
bukan berarti
menghilangkan pekerjaan
seseorang untuk orang
lain, seperti do ’a kepada
orang mati dan lain-
lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari
juga dijelaskan, dari
sahabat ibnu Abbas;
bahwa ayat tersebut telah
di-mansukh atau
digantikan hukumnya:
ِنَع ىِنْبا ٍساَّبَع:
ُهُلْوَق ىلاَعَت
ْنَأَو َسْيَل
ِنسْنءِالِل َّالِا
اَم ىَعَس َلَزْنَأَف
ُهللا َدْعَب اَذه :
َنْيِذَّلاَو
ْمُهْتَعَبَّتاَواْوُنَمَأ
ْمُهُتَيِرُذ
ٍنميْءِاِب
ْمِهِباَنْقَحْلَأ
ْمُهَتَيِرُذ
َلَخْدَأَف ُهللا
َءاَنْبَألا
ِحَالَصِب
َةَّنَجلْاِءاَبالْا
“ Dari sahabat Ibnu Abbas
dalam firman Allah SWT
Tidaklah bagi seseorang
kecuali apa yang telah
dikerjakan, kemudian
Allah menurunkan ayat
surat At-Thuur; 21. “dan
orang-orang yang
beriman, dan yang anak
cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan,
kami pertemukan anak
cucu mereka dengan
mereka, maka Allah
memasukkan anak kecil ke
surga karena kebaikan
orang tua. ”
Syaekhul Islam Al-Imam
Ibnu Taimiyah dalam
Kitab Majmu ’ Fatawa jilid
24, berkata: “Orang yang
berkata bahwa do’a tidak
sampai kepada orang mati
dan perbuatan baik,
pahalanya tidak sampai
kepada orang mati, ”
mereka itu ahli bid’ah,
sebab para ulama’ telah
sepakat bahwa mayyit
mendapat manfa ’at dari
do’a dan amal shaleh
orang yang hidup.
ketika seseorang
menghadiahkan pahala
membaca al-Quran
kepada orang yang sudah
meninggal, para ulama
berbeda pendapat, apakah
pahalanya akan sampai
atau tidak. Imam Malik
dan Imam Syafi ’i
berpendapat pahalanya
tidak sampai. Sedangkan
Imam Abu Hanifah dan
Imam Ahmad
berpendapat pahalanya
sampai (Imam ad-
Dimasyqi, Rahmatul
Ummah, hal. 53; Imam
Mubarakfuri, Tuhfat al-
Ahwadzi, hadits No. 605;
Imam Syamsul Haq-
Abadi, ‘Aun al-Ma’bud,
hadits. No. 2494)
Ulama yang berpendapat
pahalanya tidak sampai
kepada si mati, berdalil
dengan ayat:
“ dan bahwasanya
seorang manusia tiada
memperoleh selain apa
yang telah
diusahakannya. ” (QS an-
Najm [53]: 39)
Ibnu Katsir
menyatakan, ”Dari ayat ini,
Imam Syafi’i dan para
pengikutnya
menyimpulkan bacaan al-
Quran tidak akan sampai
pahalanya jika dihadiahkan
kepada orang yang telah
mati. Sebab bacaan al-
Quran itu bukan berasal
dari perbuatan maupun
usaha si mati. “ (Tafsir
Ibnu Katsir, IV/259)
Namun para ulama yang
berpendapat pahalanya
sampai, berpendapat lain.
Mereka mengatakan
keumuman ayat di atas
telah dikecualikan (di-
takhsis) dengan berbagai
dalil khusus yang
menyatakan sampainya
pahala ibadah/ketaatan
kepada si mati (Imam
Syaukani, Fathul Qadir,
V/114).
Menurut Imam Syaukani
dalil sahnya hadiah pahala
bacaan al-Quran untuk
orang yang sudah mati
adalah sabda Nabi saw.,
“ Bacakanlah kepada
orang-orang yang sudah
meninggal di antara kamu
surat Yasin ” (Arab: iqra`uu
‘ala mautaakum yaasiin)
(HR Ahmad, Abu Dawud,
Ibnu Majah, Ibnu Hibban,
al-Hakim; hadits hasan,
Imam As-Suyuthi, al-Jami’
al-Shaghir, I/52).
Maksud mautaakum
dalam hadits itu ialah
“ orang-orang yang sudah
meninggal di antara
kamu ”, bukan “orang-
orang yang hendak
meninggal di antara
kamu ”. Demikian
penegasan Imam
Syaukani yang
mengartikan mautaakum
dalam makna hakikinya
(makna sebenarnya),
untuk membantah ulama
seperti al-Khaththabi yang
mengartikannya secara
majazi (kiasan), yaitu
“ orang-orang yang
hendak meninggal.” (Nailul
Authar, hal. 776-778;
Subulus Salam, II/91).
pendapat Imam Syaukani
ini, bahwa hadits itu
hendaknya diartikan
dalam makna hakikinya,
bukan makna majazinya.
Sebab sebagaimana
dinyatakan oleh Imam
Taqiyuddin an-Nabhani,
jika suatu kata dapat
diartikan secara hakiki dan
majazi secara bersamaan,
maka mengartikannya
dalam makna hakiki
adalah lebih kuat (rajih),
sedang mengartikannya
dalam makna majazi
adalah lemah (marjuh)
(asy-Syakhshiyyah al-
Islamiyah, III/143).
Atas dasar itulah, jika kita
menghadiahkan pahala
bacaan al-Quran kepada
Rasulullah saw., para
imam dan ulama, atau
saudara-saudara kita yang
sudah meninggal, insya
Allah pahalanya akan
sampai kepada mereka.
Namun jika saudara-
saudara kita masih hidup,
hadiah pahala bacaan al-
Qur`an itu tidak akan
sampai. Sebab di sini
berlaku mafhum
mukhalafah (pengertian
kebalikan) dari hadits di
atas, yaitu janganlah
kamu bacakan Yasin
kepada orang-orang yang
masih hidup di antara
kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar